Akankah Unpad Baik Tanpa Rektor?

Bilal Dewansyah, Dosen Fakultas Hukum Unpad tengah menjelaskan kemunduran pemilihan rektor Unpad dari sudut pandang hukum, di Jalan Imam Bonjol, bandung, Senin (11/3). Ia juga menjelaskan bahwa kemunduran pemilihan rektor dapat mengganggu psikologis civitas akademika Unpad
Foto: Hamzah

Molornya Pemilihan Rektor Universitas Padjadjaran (Pilrek Unpad) menemui “titik terang” tatkala Majelis Wali Amanat (MWA) menyatakan Pilrek Unpad akan berlangsung pada 29 Maret mendatang. Dilansir Ayobandung.com, melalui mekanisme rapat pleno pada Jumat (15/3), tanggal 29 Maret diputusan tanpa kehadiran Ketua MWA yang juga Menteri Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Rudiantara.

“Dipastikan 29 Maret 2019, tidak mundur lagi. Barusan sudah diputuskan. Kita juga capek karena banyak kerjaan lain yang harus dikerjakan,” jelas Wakil Ketua MWA, Ida Nurlinda.

Ida berujar, Pilrek berlanjut dengan tiga calon yang dahulu sudah ditetapkan antara lain Aldrin Herwany (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), Atip Latipulhayat (Fakultas Hukum), dan Obsatar Sinaga (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Ida juga menegaskan, Pilrek Unpad kali ini bertujuan untuk memilih rektor definitif dan bukan pelaksana tugas (Plt).

Polemik Pilrek Unpad
dJatinangor menemui dosen Fakultas Hukum (FH) Unpad yang juga dikenal lantang menyuarakan kritiknya terhadap rektor dan Pilrek Unpad, Bilal Dewansyah guna mengetahui perihal molornya Pilrek Unpad. Bilal berujar, statuta Unpad sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2015 termasuk di dalamnya mekanisme Pilrek. Peraturan tersebut juga termasuk ke dalam aturan administrasi negara yang jarang sifatnya menghukum sanksi pidana, kecuali yang sudah berkaitan dengan hak orang.

“Jadi memang tidak ada sanksi bagi MWA, karena tidak melakukan itu. Karena juga MWA masa dikasih ancaman pidana, gak mungkin, itu adalah organ paling tinggi. Dia punya harapan banyak yang secara moral MWA pasti akan melaksanakan kewajiban itu,” ujar Bilal.

Namun demikian, MWA bisa digugat secara hukum apabila mungkin kelak menetapkan rektor dengan status Plt. dalam skema apabila masa jabatan rektor habis, sementara Plt. tidak berlaku untuk itu. Selain itu, Plt. juga merupakan wakil rektor yang dipilih tidak melalui mekanisme Pilrek.

Plt. juga tidak memiliki kekuatan penuh terhadap kebijakan rektorat karena sifatnya terbatas. Ia juga mengibaratkan dengan Plt. maka Unpad akan berjalan seperti biasa, tanpa akselerasi, inovasi, dan kemajuan lainnya.
“Nah, setelah Plt. ditentukan berarti butuh sekian bulan kita harus kembali berkonsentrasi untuk terus perhatian kepada pemilihan rektor ini. Jadi energinya cukup besar. Sementara yang lain sudah ngapain, kita masih disini-sini aja,” katanya.

Bilal juga mengkritisi gagasan MWA perihal penggantian calon rektor yang gugur atau dibatalkan saat tiga besar. Baginya hal tersebut tidak logis, mengingat seharusnya Pilrek terus berjalan meskipun dengan dua calon saja. Meskipun demikian, Pilrek tetap berjalan dengan tiga calon yang sudah ditetapkan sebelumnya.
“Coba, di mana ada aturan di mana pun dalam bentuk rekrutmen dalam sebuah kompetisi, itu ketika selesai di tahap final. Dalam pertandingan sepak bola misalnya, si peserta final yang satu walk out, lalu peserta di semi final yang menggantikan, di mana logikanya?” ucapnya.

Pada Pasal 28 PP 51 Tahun 2015 menyatakan, “Pemilihan Rektor oleh MWA harus sudah selesai dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa jabatan Rektor sebelumnya berakhir” yang mana menimbulkan perbincangan di masyarakat khususnya mahasiswa Unpad. Pasalnya, tiga bulan sebelum tanggal pelantikan rektor terpilih yaitu 13 April adalah 13 Januari 2019.

Bilal menjelaskan, rektor terpilih sehari sebelum pelantikan pun tidak masalah, hanya saja tiga bulan ditetapkan karena alasan sebagai waktu peralihan yang masuk akal. Tiga bulan tersebut bisa digunakan untuk rektor mempersiapkan pertanggungjawaban dan bagi MWA sendiri bisa difokuskan untuk memeriksa laporan pertanggungjawaban rektor yang menjabat. Dengan adanya kemoloran ini tentu akan membuat proses tersebut semakin lama khususnya MWA yang masih berkutat dengan Pilrek.

Seakan Dibuat Lupa
Molornya Pilrek juga berpengaruh kepada aktivitas mahasiswa dan dosen secara umum seperti kinerja pelayanan publik di Unpad. Selain itu, hal ini juga berpengaruh terhadap psikologis mahasiswa dan dosen seperti dengan selalu mempertanyakan kejelasan Pilrek. Konsekuensinya bisa saja mahasiswa dan dosen tidak peduli terhadap Pilrek karena tidak ada kejelasan atau jalan tengah.

Namun demikian, Bilal melihat respons mahasiswa khususnya yang diwadahi Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM Kema) Unpad sudah lebih baik. Baginya, BEM sudah terlihat merangkul bahkan membuat langkah yang bagus dengan melaporkan MWA ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi. Hanya saja, Bilal berkata bahwa perlu ada usaha yang lebih lagi agar isu ini menjadi isu publik bahkan bagi mahasiswa Unpad itu sendiri, khususnya melalui langkah yang menyentuh afeksi seperti mengadakan forum konsolidasi dengan mendengar suara dari dosen juga.

Aksi kepedulian mahasiswa sudah pernah dilakukan salah satunya dengan penyegelan Kantor Rektor Unpad pada 12 Desember tahun lalu untuk meminta kejelasan Pilrek melalui Rektor Tri Hanggono Achmad yang juga anggota MWA. Selain itu, aksi juga diselenggarakan di depan Kantor Kemenkominfo di mana merupakan tempat rapat pleno MWA terkait Pilrek pada 7 Januari lalu. Namun demikian, Bilal merasakan kepedulian mahasiswa meredup karena mungkin waktu molor yang terlalu lama sehingga membuat banyak orang tidak lagi peduli.

“Tapi dalam strategi perang kan begini yang bikin orang kalah, saat orang gak peduli, yang dimainkan adalah siapa yang mampu bertahan lama, nah itu yang bisa memenangkan peperangan. Jadi harus dijaga juga endurance-nya dari mahasiswa, termasuk elemen. Karena yang saya lihat punya potensi untuk jadi kekuatan penekan yang kuat sekali adalah mahasiswa,” tutur Bilal.

Sebagai pnutup, Bilal menjelaskan mengapa ia dan banyak teman dosen memiliki komitmen untuk memperbaiki Unpad sejak 2 Mei tahun atau saat aksi Kelompok Gelora Aksi Masyarakat Unpad melangsungkan aksi menyoroti kinerja kerja dan kebijakan rektor. Baginya, bila menginginkan adanya perubahan maka rektor yang harus diganti. Sementara itu, kekhawatirannya muncul karena timbul berbagai konspirasi upaya mengembalikan Tri Hanggono ke dalam posisi rektor lagi.

“Tapi kenapa dia juga tidak segera mendorong untuk segera menyelesaikan? Padahal dia anggota MWA juga, walaupun tidak punya suara, tetapi sebetulnya dia bisa punya sikap dan dengan wibawa dia mestinya dia bisa mendorong, mengajak anggota MWA yang lain untuk segera menyelesaikan,” tutup Bilal.

Sepenting Apakah Posisi Rektor?
Rektor memiliki fungsi yang cukup kuat dan strategis dalam membawa arah langkah institusi pendidikan tinggi. Fungsi Rektor Unpad sendiri diatur dalam Pasal 4 Peraturan Rektor Unpad Nomor 70 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pengelola Unpad.

Dalam pasal tersebut, tugas dan wewenang rektor antara lain menyusun dan menetapkan kebijakan operasional akademik dan nonakademik; melaksanakan fungsi manajemen dan kekayaan Unpad secara optimal; menjatuhkan sanksi kepada Sivitas Akademika dan Tenaga Kependidikan yang melakukan pelanggaran terhadap norma, etika, dan/atau peraturan akademik; dan 15 tugas dan wewenang lainnya.

Pakar Pendidikan, Cecep Darmawan menganalogikan peran rektor sebagai nahkoda dalam kapal dan pilot dalam pesawat, yaitu mengatur ke arah mana institusi pendidikan tinggi. Meski demikian, rektor bukan hanya mengembang tugas sebagai birokrat namun juga pemimpin yang menjadi panduan dosen hingga mahasiswa ke depannya.
“Makanya kapabilitas rektor harus mencerminkan kebesaran perguruan tingginya, bahkan membawa perguruan tinggi ke arah yang lebih baik,” jelas Cecep.

Ia yang juga mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung juga menanggapi perihal mekanisme Pilrek di PTN BH khususnya suara Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) sejumlah 35 persen dari total suara. Meskipun suaranya tidak wajib disalurkan, Cecep berujar bahwa suara tersebut seharusnya digunakan dengan melihat bagaimana suara publik termasuk mahasiswa, senat akademik, dan MWA.

Baginya, aturan Pilrek PTN BH cukup debatable dan relatif kepastiannya. Demokrasi dalam pemilihan rektor seharusnya melihat dari bagaimana suara semua aspek didengar dan apakah suara tersebut mempunyai peran. Khususnya mahasiswa yang meskipun hanya mewakili satu suara, namun harus bisa mendengar dan berusaha memperjuangkan suaranya ke MWA dan calon rektor.

Cecep juga mengkritisi molornya Pilrek Unpad yang dikarenakan ketidakjelasan aturan MWA dalam mematuhi statuta. Selain itu, ia berspekulasi mungkin terdapat kepentingan lain yang tidak terakomodir di dalam konteks pemilihan.
Jauh dari pada itu, ia juga menegaskan bahwa seharusnya syarat non-formal seperti pencatatan track record dan pengalaman serta indikator kecakapan di luar syarat administratif bisa lebih diutamakan saat penjaringan calon rektor. Dalam pencalonan, dibuat dengan penghitungan dan bobot melalui indikator ilmiah sesuai dengan kebutuhan institusi pendidikan tinggi.

“Jadi tahapannya rasional ada indikatornya. Baru setelah dibentuk indikator orang bisa mennyalonkan, bukan setelah ada yang menyalonkan baru dibuat indikatornya. Jadi mencampurkan antara unsur demokratis dengan kampus sebagai lembaga ilmiah,” tutur Cecep.

Erlangga Pratama, Ni Luh Lovenila Sari Dewi
Editor : Tamimah Ashilah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *