Suatu Sore di mall Jatinangor, Eprita Setyanti, Mahasiswa Pertanian Universitas Padjadjarann (Unpad) terlihat sedang mengantre di outlet minuman favoritnya. Sembari mengantri, Eprita tengah sibuk mengotak-atik gawainya. Ketika selesai memesan, bukan dompet yang ia keluarkan, melainkan todongan gawai pada kasir. Rupanya, mahasiswa tingkat dua itu memilih memakai uang digital sebagai pilihan transaksinya.
Uang digital bukan hal baru bagi Eprita dan mungkin bagi sebagian besar millenials di Indonesia. Uang digital sendiri merupakan buah dari perkembangan teknologi yang telah merambah pada sektor finansial atau akrab disapa Financial technology (Fintech).Tidak hanya uang digital, Fintech juga punya segudang bentuk yang diklaim memudahkan konsumen Indonesia.
Sebagian masyarakat Indonesia hanya akrab dengan bentuk fintech pembayaran. Wakil ketua umum Asosiasi FinTech, Adrian Gunadi memberi penjelasan berbagai manfaat financial technologi yang terbagi dalam beberapa bentuk.
”Fintech terdiri dari beberapa jenis yakni mulai dari payment atau pembayaran, manajemen investasi, peer to peer lending (P2P), hingga crowdfunding atau patungan,” Jelas Adrian kepada Detik.com
Kehadiran financial technology juga mendorong suatu kampanye yang menjadi tren. Bertajuk Cashless Society, kampanye ini mengajak masyarakat membanting setir atas mode transaksinya. Masyarakat didorong menggunakan uang digital ketimbang uang tunai.
Cashless: Efisiensi dan Keuntungan
Banyaknya bentuk fintech tersebut, Eprita mengaku hanya menggunakan uang digital saja. Wanita ini terhitung betah memakai uang digital. Awal tahun ini, menandai Eprita sudah tiga tahun menggunakan uang digital. Alasannya? Tentunya banyak keuntungan yang bisa eprita gondol.
“Yang pasti dari menggunakan uang digital akan sering mendapatkan cashback ataupun promo menarik lainnya. ini sangat cocok untuk mahasiswa seperti aku yang penuh keinginan tapi keuangan harus tetap terkontrol. selama hampir tiga tahun menggunakan uang digital, aku engga banyak mengalami kendala,” Kata Eprita (16/02) .
Kesehariannya sebagai mahasiswa memaksa dirinya memilih mode pembayaran paling praktis. Eprita menceritakan uang digital mempercepat proses transaksi yang ia tempuh. Tinggal tap, transaksi langsung berhasil.
Dompet Eprita tidak lebih dari penyimpanan kartu saja. Pasalnya, dompet dirinya hanya berisi berbagai kartu identitas. Hanya sedikit uang tunai yang ia bawa, itu pun hanya uang receh. “Jaga-jaga kalo ada yang gabisa pake uang digital, makanya aku bawa uang receh,” Ucap Eprita.
Selain terhindar dari rumitnya membawa uang tunai, ada alasan lain mengapa dirinya lebih mengandalkan uang digital. Kerap pulang ke pondokan larut malam, tak jarang Eprita dihinggapi rasa takut terkena pencurian paksa alias jambret di jalan. Maka dari itu, menyimpan uang dalam genggaman gawainya lebih dipilih Eprita ketimbang menumpuk uang tunai di dompet.
“Aku kadang memiliki perasaan takut bila banyak memegang uang tunai, entah takut uangnya hilang atau akan menjadi boros. Dengan uang digital, aku hanya perlu membawa HP untuk semua transaksi pembayaran,” Kata Eprita
Rasa aman bukan jadi alasan satu-satunya Eprita memilih uang digital. Sebagai mahasiswa rantau, tentu mengatur keuangan menjadi persoalan pelik, termasuk Eprita. Sebelum memakai uang digital, seringkali Eprita khilaf akibat terus-terusan berbelanja. Melalui uang digital, setiap transaksi akan langsung dicatat sehingga pengguna bisa langsung mengetahui sisa uang yang ada di saldonya. Cara itu jitu bagi Eprita untuk meredam keinginannya belanja berlebihan.
Di sisi lain, ada berbagai tawaran potongan harga tak jarang membuat Eprita sumringah. Uang digital sudah melekat dalam keseharian Eprita. Mulai dari membeli pakaian, makanan, hingga ojek online semua memakai uang digital. Pada momen tertentu, Eprita kerap mendapat potongan harga yang miring. “Biasanya aku pake ojek online ke kampus, lumayan lebih murah sama banyak promonya kalo pake Go Pay (salah satu uang digital),” Jelas Eprita.
Gaya hidup non-tunai atau cashless society juga mulai diterapkan oleh Restu Amel, mahasiswa tingkat dua fakultas kedokteran gigi. Bagi Amel, menjadi bagian dari cashless society juga berarti membantu budaya baru di Indonesia, tidak lain adalah budaya digital.
“ Untuk more cashless sangat sangat mungkin, karena lebih simple dan generasi sekarang juga udah banyak yg pakai, apalagi uang digital sekarang banyak manfaatnya,” Jelas Amel (28/02) .
Amel beralih ke uang digital lantaran perasaan gusarnya ketika kerap tidak bisa mendapat uang kembali saat bertransaksi. Alhasil, Amel harus sedia berbagai pecahan uang rupiah di dompetnya. Tidak ingin dompetnya semakin tebal, maka sejak dua tahun lalu Amel mulai berpindah ke uang digital.
Sebagai mahasiswa rantau yang membayar segala keperluan sendiri, Amel punya cara tersendiri menghadapinya. Dari pembayaran hal yang paling dasar seperti listrik dibayarkan Amel melalui uang digital. Amel tergolong nyaman memakai uang digital, tahun ini menjadi tahun keduanya beralih ke uang digital.
Mahasiwa tetap-lah mahasiswa, yang dicari tidak lain adalah potongan harga. Banjir potongan harga membuat Amel berani menyimpan uang di berbagai produk uang digital seperti OVO dan Dana. Terhitung, lebih dari seratus ribu rupiah Amel gelontorkan setiap dua minggu sekali. “Terus juga kan pake uang digital itu enak banget, saving so much time” Kata Amel.
Butuh Kemampuan untuk Menggunakan Uang Digital
Segala kemudahan itu juga membuat Eprita tidak ragu menggelontorkan ratusan ribu rupiah tiap bulannya untuk isi ulang uang digitalnya. Sebenarnya, Eprita bisa saja merogoh kocek lebih dalam mengisi uang digitalnya. Namun sayang, di Jatinangor banyak gerai yang tidak menyediakan pembayaran secara digital.
Ikin, Pemilik rumah makan seafood di daerah Caringin menerangkan dirinya belum tergugah menyediakan pembayaran uang digital. Sudah berjualan lebih dari dua tahun, Ikin berdalih dirinya tidak terlalu paham mengoperasikan pembayaran uang digital. Selain itu, usaha rumah makannya hanya dikelola oleh dirinya bersama istri membuatnya tidak sempat mengurus berkas kemitraannya.
“Rumah makan saya bahkan gak ada di online. Saya Cuma andelin delivery lewat WA saya saja. Belum ada keinginan juga dari saya buat gabung ke online. Kurang paham juga,” terang Ikin (16/02) .
Praktis, Ikin dan sang istri hanya mengandalkan pelanggan datang ke gerai dan delivery saja. Cakupan wilayah delivery pun terbatas hanya di wilayah caringin saja. Oleh Kareana itu, sulit bagi warga yang tinggal jauh dari rumah makannya untuk merasakan masakan Ikin. Padahal, peluang meraih lebih banyak pelanggan terbuka lebar bila pedagang bermitra dengan perusahaan penyedia uang digital
Cuan Berkat Uang Digital
Menengok ke sisi lain dari kehadiran uang dgital, yakni dari sisi Mitra bisnis. Mitra bisnis merupakan pelaku usaha yang memutuskan bermitra dengan perusahaan penyedia uang bisnis. Mitra bisnis juga mendapat banyak manfaat. Pelaku bisnis bisa menjaring konsumen yang lebih luas dan tentu saja, bisnisnya menjadi cuan.
Sekilas tak ada yang spesial dengan gerobak pisang cokelat milik Anggi. Gerobak itu tentunya diisi oleh dagangan pisang yang ditata sedemikian rupa untuk menarik pelanggan. Hanya saja, bila diperhatikan ada stiker yang jadi tanda usahanya telah bermitra dengan salah satu perusahaan uang digital terkemuka di Indonesia.
Anggi menuturkan usahanya telah bermitra selama lebih dari setahun lamanya. Selama setahun itu, manfaat yang luar biasa bisa Anggi dapatkan. Yang paling Nampak, tentu saja peningkatan penjualan yang merangkak naik. Ditemui di gerainya (17/02) Anggi berbagi kebahagiannya karena usahanya mengalami peningkatan.
“Alhamdulillah, ada peningkatan. Sampe sekarang akhirnya saya bisa buka cabang. Pelanggan saya juga jadi lebih banyak, ada yang biasa pake uang digital gitu, tapi banyak juga yang pesen online lewat GoJek atau Grab,” Kata Anggi.
Sebelum mengenal uang digital, Anggi hanya bisa mendulang rupiah berkisar Rp 600 ribu saja setiap harinya. Pelanggan Anggi pun hanya terbatas di lingkup yang kecil serta hanya mengandalkan satu gerai saja.
Jalan terang ditemukan Anggi tatkala dirinya bergabung dengan berbagai produk uang digital sebagai mitra. Dalam sehari, Anggi bisa mengantongi rupiah hingga Rp 3 juta dari dua cabang pisang coklatnya.. “Peningkatan pendapatan Anggi menjadi salah contoh positif dari adanya financial technology . lewat itu pula, pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah dapat tumbuh subur di Indonesia, tak terkecuali di Jatinangor.
Bagi Anggi, menjadi mitra dari berbagai produk uang digital bagai menadapat durian runtuh. Saat usahanya saat itu hanya jalan di tempat, uang digital menjadi jalan keluarnya. Sedangkan bagi Eprita, dan mungkin ribuan mahasiswa lain, terobosan ini dapat menunjang mobilitas mahasiswa yang tinggi. Itulah mengapa, Eprita dan ribuan mahasiswa lain memilih uang digital karena terbuai dengan segala kemudahannya.
Muhamad Arfan Septiawan
Editor: Sabrina Mulia