Mengenal Politainment di Genetitas 2018

Para pembicara di Genetitas 2018 berfoto bersama panitia Genetitas 2018 selepas acara di Aula Moestopo, Fikom Unpad, Kamis 4 Oktober 2018. Foto Oleh: Fariza

Tagar #saveriodewanto #2019gantipresiden #gantimukaplastik memenuhi Twitter akhir-akhir ini. Pemilihan umum 2019 menjadikan politik sebagai bahasan laris di media massa. Namun, apakah berita politik itu merupakan berita yang sesungguhnya?

Menanggapi hal tersebut, LPPM Djatinangor mengadakan seminar Generasi Kreatif Tanpa Batas (Genetitas) 2018. Seminar bertajuk “Derap Politainment di Tahun Politik” ini berlangsung Kamis, 4 Oktober 2018 di Aula Maestopo, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Genetitas kali ini mengundang empat pembicara, yaitu Yovantra Arief selaku peneliti dari Remotivi, Agus Mulyadi selaku Pimpinan Redaksi Mojok.co, Abie Besman selaku Eksekutif Produser Kompas TV, dan Hendri Satrio selaku pengamat politik.

Politainment merupakan perpaduan antara politik dan infotainment. Adanya politainment menjadikan media seolah mati tanpa politik ataupun sebaliknya. Masyarakat dahulu menganggap politik susah dan berat. Politainment menjadikannya sebagai hiburan yang mudah dipahami.

“Artis yang jadi politikus, politikus yang ngartis, ” kata Abie. Fenomena ini menjadi keuntungan bagi politikus. Mereka mendekat ke media untuk menambah waktu tayang dan menyamarkan pesan kampanyenya. Lalu, apa masalahnya? “Politainment bisa jadi hal yang baik atau buruk,” ujar Yovantra. Sisi buruknya,politainment dapat menciptakan rezim citra.

Rezim ini menggiring masyarakat memilih calon yang citranya terlihat lebih baik di media massa. Bukan dari kemampuannya. Batas urusan privat dan publik pun menjadi kabur. Hal privat milik politikus, seperti lipbalm Sandiaga Uno, jaket Jokowi, dan operasi plastik Ratna Sarumpaet justru lebih menjadi konsumsi publik daripada berita kinerja mereka.

Politainment bukan hal yang salah. Menurut Hendri, “Kalau bukan entertainment, politiknya enggak laku.” Media mudah menjual politik yang menghibur masyarakat dalam bentuk politainment. Namun, ini jelas ada batasnya. “Media menjual sidebar-nya yang berbeda dari berita utama,” ujar Abie. Ketika semua media memberitakan pelantikan gubernur Jakarta, isi media tak lagi menarik. Pemberitaan yang berbeda soal politik, seperti perihal makanan yang ada di pelantikan, jadi terlihat lebih seru bagi pembaca.

Lalu, apa yang harus kita lakukan agar tidak terbutakan politainment? Menurut Yovantra ada tiga hal yaitu, memiliki budaya politik yang rasional, budaya jurnalisme yang profesional, dan budaya literasi media.

“Media berhak menjual, pemirsa berhak tidak menonton,” ucap Abie. Berita politainment memang banyak mengisi media massa. Ini saatnya masyarakat yang menentukan berita politik yang layak ia konsumsi demi mencari calon pemimpin bangsa. Bukannya berita politik yang sekadar hiburan semata.

Erwina Rachmi

Editor: Nadhen Ivan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *