Bersama The Salesman, Mencari Empati

Sumber Foto: Amazon.com

Judul film: The Salesman

Sutradara: Asghar Farhadi

Pemain: Shahab Hosseini, Taraneh Alidoosti, Babak Karimi, Farid Sajjadi Hosseini

Tahun rilis: 2016

Durasi: 124 menit

 

Membincangkan Asghar Farhadi adalah membincangkan tentang empati. Hal yang  lekat dan dapat kita nikmati dari film-filmnya. Ia tak pernah repot menggambarkan tokoh mana yang layak dikagumi dan mana yang layak dicela. Sebab dalam bahasanya, moral selalu abu-abu. Alih-alih menggambarkan baik dan buruk secara hitam-putih, kita justru diajak memahami alasan di balik tindakan setiap tokoh.

Formula itu pula yang ia gunakan dalam film yang memberinya piala Oscar kedua , The Salesman. Film ini berkisah tentang Emad (Shahab Hosseini) dan Rana (Taraneh Alidoosti), sepasang suami-istri yang bergiat di teater. Keduanya harus pindah ke apartemen baru, lantaran apartemen sebelumnya terancam runtuh. Di apartemen itulah Rana justru mengalami penyerangan yang membuatnya trauma. Emad, didorong rasa dendam, berupaya menemukan pelaku penyerangan tersebut.

Dugaan para tetangga, bukan Rana yang sebenarnya jadi target penyerangan, melainkan penyewa apartemen sebelumnya. Penyewa sebelumnya adalah seorang PSK dengan perilaku yang tidak menyenangkan. Penyerang tersebut diduga tidak tau apartemen itu kini ditempati Rana dan Emad. Keduanya memang belum lama pindah. Barang-barang penyewa sebelumnya pun masih berada di sana.

Karakter

Layaknya film-film sebelumnya, sineas asal Iran ini mengenalkan kita pada karakter-karakter biasa yang mengeluarkan watak aslinya saat dihadapkan dengan kemelut. Awal film menggambarkan sosok Emad sebagai suami pada umumnya. Di rumah ia tak punya konflik dengan Rana. Di sekolah ia mendapat hormat dari murid-muridnya meski kadang jadi bahan bercandaan—mengingat profesi utamanya adalah guru.

Setelah penyerangan terjadi, Emad mulai tak bisa mengontrol diri. Rasa marah dan dendam mulai menguasai. Di titik tertentu, amarahnya justru menggerus sensitivitasnya terhadap kondisi Rana. Tindakan-tindakannya tidak lagi didasarkan pada keinginan melindungi Rana, melainkan pemenuhan dendam. Meski mengikuti permintaan Rana untuk tak membawa kasus ini ke polisi, Emad tetap mengusut penyerang Rana seorang diri.

Hal-hal di sekitar Emad juga tak bisa bersekutu dan terus memancing rasa dendamnya. Kaus kaki tak dikenal, uang yang bukan miliknya, serta kunci mobil milik si penyerang tergeletak di sudut-sudut rumah. Bayangan penyerang tersebut terus menghantui Emad dan membuatnya gerah. Pun ketika ia mulai melupakan kejadian itu, sosok penyerang tadi muncul saat makan malam, dalam bentuk masakan Rana yang dibeli dengan uang yang ditinggalkan saat penyerangan.

Tak hanya karakter utama, The Salesman juga memiliki karakter pelengkap yang tak mutlak baik atau buruk. PSK yang sebelumnya menempati apartemen, misalnya. Meski tak pernah dihadirkan secara fisik, penonton dapat mereka-reka sosoknya dari barang-barang yang ditinggalkannya.

Penonton diperlihatkan sepeda anak-anak dan dinding penuh coretan yang mencitrakan PSK itu sebagai ibu. Penonton juga diperlihatkan kucing peliharaan yang tetap tinggal meski PSK itu telah pergi. Alih-alih menegaskan stereotip, Asghar Farhadi melawan anggapan umum dan membuat kita malu telah membayangkan sosok PSK dengan penuh penghakiman.

Menggabungkan Teater

Berbeda dengan film-film sebelumnya, Asghar Farhadi memasukkan unsur teater ke dalam The Salesman. Kehadiran dunia teater membuat persoalan empati yang disuguhkan menjadi lebih kaya. Pilihan drama yang digunakan pun jatuh kepada Death of A Salesman karya Arthur Miller, yang berperan penting dalam 124 menit ke depan.

Dalam pentas teater Death of a Salesman, Emad mengambil peran sebagai Willy. Pria tua yang puluhan tahun menikahi istri penyayangnya, Linda, yang diperankan oleh Rana. Meski menghabiskan banyak waktu bersama, Willy tak bisa menghindar dari godaan berselingkuh.

Alur cerita Death of a Salesman ini dapat diketahui dari fragmen adegan teater yang muncul beberapa kali sepanjang film. Lewat potongan adegan itu, isi cerita pentas drama disampaikan sedikit demi sedikit. Sebagian besar cerita itu bahkan sudah disampaikan pada menit kesepuluh. Namun, fokus kita akan digeser ke kehidupan Emad dan Rana di luar panggung. Meninggalkan pentas drama tadi seolah tanpa arti, sebelum babak terakhir meminta penonton untuk mengingatnya kembali.

Babak terakhir film ini mengenalkan kita pada penyerang Rana, yang pencarian terhadapnya menggerakkan alur cerita. Ia rupanya lelaki tua dengan riwayat penyakit jantung, penjual pakaian di malam hari, memiliki istri yang begitu penyayang, dan pernah berhubungan dengan PSK. Ialah representasi Willy dari Death of a Salesman.

Di sinilah film ini jadi menggigit. Sebagai aktor, kemampuan Emad dalam menempatkan diri di posisi orang lain didorong hingga ke batas. Dan ia nyatanya gagal melakukan itu ketika berhadapan dengan ‘Willy’ yang sebenarnya. Ia tak lagi bisa berempati dan memahami situasi dari sudut pandang penyerang Rana. Tak peduli berapa banyak waktu yang ia habiskan untuk bermain peran, ia tak lagi piawai menjadi Willy.

Pada akhirnya pesan yang disampaikan Asghar Farhadi tetap sama: empati. Repetisi pesan itulah yang barangkali membuat kita terus menonton film-filmnya. Sebab seperti Emad, kita tau belajar berempati berulang kali tak membuat kita pandai melakukannya.

Ananda Putri

Editor: Nadhen Ivan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *