
Ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama saat harus berkeliling mendorong gerobak berjualan bakso siomay. Malu dan gengsi tak ia hiraukan saat remaja lain seusianya asik bermain sepulang sekolah. Ialah Asep Suhendar, pemuda asal Sindang Sari, Kel. Manggahang, Kec. Baleendah, Kabupaten Bandung yang berhasil membawa pelangi, di tanah kelahirannya sendiri.
Sore itu kali pertama Asep berkegiatan bersama anak-anak di daerah Manggahang 2, Baleendah, Kabupaten Bandung. Ia menunggu di teras sebuah mushola kecil. Sudah hampir pukul empat, anak-anak satu per satu datang. Kebetulan, saat itu ia kedatangan tiga orang tamu yang berkunjung untuk melihat kegiatannya bersama anak-anak. Ada sekitar 15 anak yang hadir saat itu, Asep segera mengajak mereka masuk ke dalam mushola dan memulai kegiatan.
Sebuah nyanyian ia ajarkan kepada anak-anak yang datang. Nyanyian tersebut merupakan nyanyian untuk berkenalan satu sama lain. Satu per satu anak menyebutkan nama dan buah-buahan kesukaannya pada lirik nyanyian tersebut. Semua yang ada di dalam ruangan tertawa. Anak-anak terlihat sangat senang. Nampaknya, tak sulit bagi Asep untuk melakukan pendekatan dengan anak-anak.
___
Saat Asep menginjak kelas 3 SMP, ibunda Asep meninggal dunia. Asep lalu memutuskan untuk tinggal bersama pamannya. Ia tak tega melihat kondisi ekonomi ayahnya sendiri. Untuk biaya sekolah dan hidup sehari-hari, ia berjualan bakso siomay dan batagor setiap sorenya. Mendorong gerobak keliling kampung Sindang Sari. Dari berjualan ternyata Ia banyak belajar. Berjualan juga membuatnya semakin mengenal kampungnya. Banyak anak jalanan dan banyak anak putus sekolah. Warga kampungnya mayoritas bekerja sebagai buruh pabrik dan petani.
Saat itu, Asep dan rekannya, Rendy, berencana melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi Negeri setelah lulus dari sebuah Sekolah Menengah Kejuruan jurusan elektro. Di keluarga Asep, pendidikan tertinggi yang pernah dicapai adalah tingkat Sekolah Menengah Pertama. Untuk itu, ia ingin meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Sayang, Asep dan Rendy belum berhasil diterima di Perguruan Tinggi Negeri. Dua kali gagal test masuk PTN, Asep dan Rendy putus asa.
Saat itu kemudian setiap minggunya Asep dan Rendy bergabung dengan sebuah komunitas di Dago, Kota Bandung. Komunitas Rumah Mentari namanya. Mereka mendapatkan informasi mengenai Rumah Mentari ini dari buku motivasi yang Asep baca.
“Saya ke sana, dan di sana saya melihat banyak anak-anak. Tidak terpikir sama sekali untuk mengajar, tapi mau tidak mau saat itu saya harus mengajar. Saya ajarkan apa yang saya bisa. Saat mengajar, ternyata motivasi yang saya dapatkan lebih dari hanya sekedar mencari info perkuliahan, tapi juga kepuasan hati saya rasakan,” ungkapnya.
Dua bulan mengikuti kegiatan Rumah Mentari, ia kembali lagi ke kampung. Ia kembali lagi menjadi seorang penjual siomay. Kemudian ia berpikir, mengapa ia harus jauh-jauh pergi ke Dago untuk dekat dengan anak-anak? Sejak saat itu, sembari berjualan keliling, ia juga membawa buku cerita. Anak-anak yang membeli, ia tawarkan untuk membaca buku-buku tersebut. Sebelum berkeliling pun ia habiskan waktu untuk bermain bersama anak-anak.
“Saya mencoba masuk ke dalam dunia mereka. Tiap hari begitu. Lama-kelamaan, anak-anak tersebut saya ajak bermain sambil belajar, semacam me-review pelajaran di sekolah. Anak-anak merasa nyaman dan menganggap saya teman. Dulu, saya yang mengajak mereka bermain, sekarang terbalik,” katanya.
Kemudian pada tahun 2012, Asep bersama Rendy mendirikan Rumah Pelangi. Siapa pun bisa bergabung dengan Rumah Pelangi. Anggotanya merupakan anak-anak dengan rentang usia taman kanak-kanak hingga sekolah dasar. Pada awalnya, anggota Rumah Pelangi terdiri dari 10 orang anak. Kemudian anak-anak tersebut mengajak temannya yang lain. Bersyukur, ada saja relawan yang ingin berbagi pengetahuan setiap minggunya. Untuk urusan relawan, Rendy lah yang mencarinya. Rendy mengelola media sosial untuk mempublikasikan kegiatan Rumah Pelangi.
Tak hanya kesenian yang diajarkan di Rumah Pelangi, tapi terkadang juga sains, teater, dan lain-lain. Rumah pelangi adalah tempat Asep dan Rendy untuk berbagi dengan sesama. Berbagai aktivitas mereka rancang agar anak-anak Rumah Pelangi tidak bosan dan terus mendapat manfaat. Kegiatan Rumah Pelangi biasanya lebih memanfaatkan alam untuk bahan pembelajarannya.
Pada 2014 lalu, Asep diterima menjadi mahasiswa Karawitan di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Saat di Rumah Pelangi, Asep sering memerhatikan anak-anak yang belajar kesenian Sunda dan ia pun kemudian tertarik dengan kesenian Sunda.
Sejak kuliah, Asep jarang pulang ke Sindang Sari, oleh karena itu ia tak lagi berjualan bakso siomay dan batagor untuk menghasilkan uang. Malam hari, bersama Irwan dan Dede, teman dari kampung, ia bermain musik di jalanan.
Dulu, relawan Rumah Pelangi banyak. Sekarang, hanya tinggal Asep seorang. Relawan banyak yang sedang sibuk. Asep pun sebenarnya sibuk. Asep tidak pernah memaksa relawan untuk bergabung dalam kegiatan Rumah Pelangi. Ia mengarahkan para relawan agar dapat melakukan hal yang sama di tempatnya masing-masing.
Kegiatan Asep di Rumah Pelangi dibantu oleh Irwan atau biasa disapa Om Iwan. Om Iwan membantu Asep memberikan workshop kerajinan tangan atau kriya kepada anak-anak.
“Awal mula mengenal Asep itu sejak dulu kami tetanggaan. Asep dan saya memiliki umur yang jauh berbeda. Jadi, saya sudah mengenal Asep sejak kecil. Sejak ditinggal ibunya, Asep tinggal bersama pamannya. Kemudian dia membuat kegiatan Rumah Pelangi dan meminta bantuan saya untuk mengajarkan kerajinan,” ungkap Om Iwan dengan aksen Sunda kentalnya.
Kerajinan tangan yang biasa diajarkan Om Iwan kepada anak-anak Rumah Pelangi adalah lampion dari benang dan juga kerajinan dari janur.
“Sejujurnya, saya malu sama Asep. Dalam benak saya, Asep jauh lebih muda daripada saya kok bisa menghasilkan kegiatan yang postif dan berguna untuk orang banyak, sedangkan saya tidak? Oleh karena itu, saya tertarik untuk membantu Asep,” lanjut Om Iwan.
___
Sekarang, Asep tak lagi mengamen di jalanan. Ia tengah merintis usaha bandrek kemasan yang diproduksinya sendiri. Sudah enam bulan usaha ini berjalan. Di sela-sela kesibukannya, Asep masih menyempatkan diri untuk mengajar anak-anak. Asep mengaku saat mengajar ia mendapatkan kepuasan hati yang tidak bisa dibayar dengan apa pun.
“Saat saya merasa galau atau sedang ada masalah di kampus dan di rumah, kemudian saya mengajar anak-anak, ada kepuasan batin di sana. Mengajar menjadi semacam terapi. Galau hilang saat bermain dengan anak-anak,” ungkapnya.
Keluarganya dulu menganggap negatif kegiatan Asep ini.
“Dulu saya terpencilkan di keluarga. Keluarga saya bahkan menganggap negatif kegiatan saya bersama anak-anak. Saya tidak bisa membalas dengan kata-kata, tapi saya buktikan dengan kegiatan saya. Saya berusaha memberdayakan anak jalanan sehingga sekarang mereka memiliki waktu untuk berkarya, bahkan mereka pernah memenangkan juara dua lomba kesenian tingkat kecamatan,” kata Asep.
Om Iwan juga turut berpendapat mengenai Asep. Menurutnya, Asep berbeda dari pemuda-pemuda lain.
“Saya sangat salut sama Asep, emang dia orangnya baik. Dari sekian banyak teman yang saya punya, Asep ini lain dari pada yang lain. Dia punya kegiatan seperti ini, salut sih, kenapa saya nggak bisa, ya? Hehe,” ujar Om Iwan sambil bercanda.
Asep memang luar biasa. Disela-sela kesibukannya berkuliah dan membuat usaha bandrek kemasan, Asep masih bersemangat mengadakan kegiatan sosial dengan anak-anak di sekitar daerah tempat tinggalnya.
“Teman saya pernah berkata, selama kita masih bisa bernafas, kita harus bermanfaat bagi orang lain. Kata-kata itu selalu saya ingat. Menjadi semacam motivasi yang melekat di pikiran saya,” kata Asep.

“Saya ingin membantu lingkungan sekitar saya dengan pendidikan. Pendidikan di sekolah kadang tidak cukup. Kami mencoba merasakan apa yang bisa kami lihat dan mengambil pelajaran dari setiap yang kami lihat itu. Kami tidak mau dibodohi oleh orang lain. Kami ingin menjadi manusia terpelajar dan berguna di masa depan,” lanjutnya.
Rendy, rekan Asep dalam merintis Rumah Pelangi kini berada di Bangka Belitung.
“Dulu, saat Asep mengajak saya membuat Rumah Pelangi, saya merasa itu cambukan luar biasa. Keesokan harinya, Asep memberi tahu anak-anak sekitar untuk hanya sekedar memberikan permainan-permainan kecil sambil belajar. Singkat cerita, Rumah Pelangi hadir dari dan oleh anak-anak Sindang Sari. Nama Rumah Pelangi pun anak-anak sendiri yang mencetuskan,” Rendy bercerita saat dihubungi melalui whatsapp.
“Asep memiliki semangat dan berjiwa sosial yang tinggi. Sampai saat ini, ia terus memperjuangkan kegiatan sosial demi tercapainya kecerdasan bangsa yang mana untuk menanamkan pola pikir anak-anak supaya memiliki jiwa yang tangguh seperti beliau. Sosok Asep memang luar biasa. Kami semakin dekat saat itu karena suatu kegagalan masuk ke perguruan tinggi negeri, tapi kami senang menyebutnya dengan keberhasilan yang tertunda. Jika saat itu kami diterima kuliah, mungkin Rumah Pelangi tidak akan pernah ada,” lanjutnya.
Rendy bekerja di perusahaan listrik di Bangka Belitung. Di sana, ia juga melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
“Sekarang saya dan Asep berada dalam posisi yang sangat rawan antara meneruskan berkegiatan sosial atau tidak. Namun cita-cita tetap harus kita perjuangkan,” ujar Rendy.
___
Sekarang Asep tak lagi berkegiatan di Sindang Sari. Sabtu, 26 Mei 2018 ini pertama kalinya Asep mengajar di daerah Manggahan 2, tidak begitu jauh dari Sindang Sari, daerahnya hanya terpisah sebuah jalan raya. Saat sedang bermain ke rumah Om Iwan di Manggahan 2, ia melihat ada potensi di kampung ini, oleh karena itu ia ingin berbagi. Perizinan untuk mengajar di kampung ini ia lakukan seminggu sebelumnya. Ia tentu tidak bisa begitu saja membuat kegiatan. Ia melakukan survey dan melihat terlebih dahulu seperti apa lingkungannya. Observasinya sudah ia lakukan sekitar satu tahun terakhir.
“Kebetulan Sabtu dan Minggu tidak ada jadwal kuliah, jadi saya sempatkan untuk berkegiatan di sini saat Sabtu, dan di Sindang Sari saat Minggu,” ucapnya.
Kegiatan di Sindang Sari sedikit demi sedikit Ia tinggalkan. Saat masyarakatnya sudah bisa berjalan sendiri, ia baru akan mundur. Kegiatan di sana masih berlangung tapi diberdayakan oleh penduduk lokalnya. Asep ingin semangat Rumah Pelangi-nya tidak hanya terdapat di Sindang Sari, tapi juga di daerah-daerah lain.
Tidak ada kesulitan untuk Asep megajak anak-anak berkegiatan dengannya, bahkan di daerah baru. Tentu saja, usaha yang dilakukannya tidak sedikit. Beberapa kali ia mendatangi daerah tersebut lalu mengajak anak-anaknya bermain. Kebetulan, untuk daerah Manggahan 2 ini ada anak-anak pengajian setiap sorenya. Ia pun meminta izin kepada ustadznya untuk turut serta mengadakan kegiatan untuk anak-anak pengajian.
“Beruntung, tanggapan warga di sini sudah positif sejak awal. Mungkin karena pengaruh media juga, ya. Kebetulan kan kegiatan saya di sini dibantu oleh Om Iwan yang sudah seperti artis karena sudah pernah masuk televisi hehe,” jelas Asep sambil tertawa.
Kegiatan Asep dan Rumah Pelangi ini pernah diliput oleh beberapa media, bahkan pernah muncul dalam sebuah program di televisi swasta di Indonesia satu episode penuh.
Kegiatan Asep dan anak-anak desa Manggahan 2 hari Sabtu, 26 Mei itu dihadiri pula oleh tiga orang dosen Program Studi Kriya Tekstil Mode Fakultas Industri Kreatif Unversitas Telkom. Kedatangan mereka bertujuan sebagai salah satu relawan yang menawarkan kerjasama dengan Asep untuk membuat kegiatan bersama. Mereka mendapatkan kewajiban dari kampus untuk melakukan pengabdian masyarakat. Kebetulan, Rumah Pelangi berada tidak terlalu jauh dari kampus. Jadi untuk kedepannya, mereka akan mengisi salah satu kegiatan bersama Asep untuk memberikan workshop kerajinan untuk anak-anak.
Salah satu dari ketiga dosen tersebut adalah Morinta Rosandini atau akrab disapa Morin. Ia mengaku mengetahui kegiatan Asep ini melalui sebuah program di televisi. Ia kemudian tertarik dengan kegiatan tersebut selain karena dekat dengan kampus, juga karena target kegiatannya adalah anak-anak dan sesuai dengan harapan pengabdian masyarakat yang ia beserta teman-teman buat.
“Kegiatannya sangat bagus, karena tujuannya untuk memberikan wawasan baru kepada anak-anak, mengisi waktu luang dengan hal-hal positif juga untuk anak-anak dan kegiatan ini sangat bermanfaat bagi siapa pun yang mengikutinya. Baik bagi anak-anak mau pun masyarakat sekitar kampungnya,” ujar perempuan lulusan sarjana dan magister desain di Institut Teknologi Bandung tersebut.
Sosok Asep banginya adalah sosok langka di antara banyaknya ketidakpedulian anak muda terhadap pendidikan anak-anak. Asep punya tujuan mulia dan ia melakukannya tanpa pamrih. Kesederhanaan Asep juga membuat karakternya semakin kuat. Kreativitas serta inisiatif Asep menjadi kekuatan tersendiri.
“Jarang ada anak muda yang mau berkontribusi untuk masyarakat seperti Asep. Ketulusan, kesederhanaan, kegigihan, inisiatif, dan kreativitasnya bisa dicontoh. Harapan saya semoga kegiatannya dapat memberi wawasan baru bagi anak-anak tentang kesenian dan yang paling penting motivasi mereka untuk terus mau belajar dan meraih impiannya setinggi mungkin,” tutup Morin.
Elza Triani
Editor: Gerhan Zinadine Ahmad