Medio April 2018, tiga Universitas di Jawa Barat tercatat menjalin kerjasama dengan bank dalam rangka penyediaan student loan, Universitas Padjadjaran (Unpad) termasuk salah satunya.
Apa Itu Student Loan?
Dalam sebuah jurnal pendidikan berjudul A History of Financial Aid to Students volume 44 karya Matthew B. Fuller yang dipublikasikan 2014, disebutkan Student loan adalah skema pinjaman terkait pembiayaan untuk menempuh pendidikan tinggi termasuk juga biaya hidup mahasiswa itu di dalamnya yang dibayar setelah mahasiswa lulus dari perguruan tinggi. (History of Student Aid )
Dituliskan juga student loan, mulai dikenal sejak tahun 1838, dimana saat itu Harvard University di Amerika Serikat mendirikan sebuah lembaga pinjaman mahasiswa swasta untuk membuat pinjaman tanpa bunga kepada siswa yang tidak mampu membiayai biaya pendidikan, yang kemudian dikenal sebagai Program Pinjaman Harvard.
Pendanaan program ini didapatkan dari alumni dan donatur. Ada beberapa syarat untu mahasiswa yang ingin mendapatkan program pinjaman ini, diantaranya, mendapat persetujuan dari presiden kampus, ada program yang dikerjakan oleh mahasiswa tersebut selama studinya, juga disetujui oleh wali siswa peminjam. Kebijakan mengenai peminjaman dana pendidikan ini juga diterapkan di Unpad bekerjasama dengan pihak bank.
Menurut Rektor Universitas Padjadjaran, Tri Hanggono Achmad student loan yang diterapkan di Unpad bukan menjadi suatu keharusan, melainkan pilihan.
“Student loan itu pilihan. Jadi orang mau ambil atau tidak, silahkan,” begitu ujarnya saat diwawancara usai acara Safari Buka Bersama di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, 24 Mei lalu.
Selain itu, Unpad juga telah menggandeng beberapa bank untuk bekerja sama dalam menerapkan Student loan. Di antaranya adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Tabungan Negara (BTN).
“Perjanjian kerja sama Unpad yaitu dengan BRI untuk pascasarjana. BTN juga ada. Jadi siapa saja orang yang mau memberikan bantuan, masa mau kita tolak. Dan itu pilihan bukan kewajiban,” lanjut Tri.
Ia mengatakan kementerian (Menristekdikti) dan kampus sudah memberikan fasilitas kepada mahasiswa yang memerlukan bantuan. Unpad juga berkomitmen agar tidak ada mahasiswanya yang berhenti kuliah karena masalah biaya.
Menilik Polemik yang Bisa Terjadi pada Program Student Loan
Untuk menjawab perihal keberadaan student loan, dJatinangor berkesempatan mewawancarai seorang ahli pendidikan yang tidak ingin disebutkan nama lengkapnya, yang juga menjadi tenaga pengajar di salah satu universitas di Jawa Barat.
Melalui pesan yang disampaikan GR lewat aplikasi whatsapp, ia menyatakan student loan bukanlah kali pertama. Student loan sudah ada pada tahun 1980-an. Secara garis besar, program ini mungkin dapat membantu mahasiswa. Hal ini dapat dikatakan konsumtif yang produktif karena terdapat nilai investasi intelektualitas (pendidikan). Ia juga mengatakan program student loan berpotensi besar menimbulkan masalah.
“Bisnis pinjaman saya pikir dengan orientasi apapun di dunia ini tidak ada yang berjalan mulus 100%, pasti ada “macetnya”. Di Amerika Serikat (yang sudah lama menjalankan program ini) masalah yang sering muncul umunya adalah pembayaran yang bermasalah. Tidak semua mahasiswa bisa membayar cicilan perbulannya atau setelah lulus pun mahasiwa terbebani karna belum mendapatkan karir yang cemerlang,” tambah GR.
Dilansir dari cnbcindonesia.com, ada sekitar 70% mahasiswa lulus dengan student loan di Amerika Serikat (AS). Lebih dari 44 juta warga negara AS memiliki total pinjam pendidikan senilai US$1,4 triliun (Rp 19.258 triliun). Adapun laporan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), menunjukkan ada 6,9 juta peminjam student loan yang sudah berusia antara 40 dan 49 tahun, dan utang gabungan mereka berjumlah $229,6 miliar. Artinya, warga AS masih memiliki sisa pinjaman pendidikan rata-rata sebesar $337.765 per orang di usia 40-an.
Menurutnya, jika permasalahannya adalah kesulitan ekonomi sebaiknya konsep yang dipertajam adalah bantuan/beasiswa. Ia sendiri kurang setuju terhadap program tersebut karena manajemen keuangan pendidikan harus diperbaiki terlebih dahulu.
“Dari sisi perbankan berpotensi macet atau membebani. Dari sisi sosial budaya ngutang dimulai dari pendidikan. Dari sisi keyakinan sudah jelas hutang itu harus sesuai syariat. Hal-hal itu baru general di permukaan saja,” lanjutnya.
Pertanyaan lain muncul dari seorang mahasiswa Unpad M. Arief Virgy tentang student loan. Apakah hal itu benar-benar hanya menjadi opsi atau nantinya mahasiswa diarahkan untuk menggunakan student loan ini? Karena menurutnya harus ada penjaminan jika student loan hanya dijadikan sebagai opsi.
“Harus ada penjaminan (payung hukum) kalo student loan hanya dijadikan opsional saja. Tidak menjadi suatu hal yang utama,” begitu ujar Virgy yang juga menjabat sebagai Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kema Unpad.
Perlu diketahui BEM Kema Unpad sempat mengadakan kajian untuk menelisik kebermanfaatan keberadaan student loan tertanggal 30 April 2018 yang dJatinangor temukan lewat media sosial line Kema Unpad, yang mempertanyakan kematangan student loan untuk diterapkan di Indonesia. (Tentang Student Loan)
Menristekdikti menjelaskan bahwa student loan kedepannya diharapkan memiliki bunga sebesar 0% khususnya bagi mahasiswa yang kurang mampu. Namun, Menristekdikti pun menjelaskan bahwa bank mmebutuhkan profit untuk melakukan kegiatannya dan mengharuskan ada bunga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Menristekdikti juga menekankan agar pendidikan bukanlah suatu komoditas yang bisa dijadikan bisnis.
“Yang menjadi pertanyaanya adalah apakah nanti ke depannya pemerintah mempunyai regulasi yang jelas terkait student loan. Bagaimana payung hukumnya? apakah nanti akan ada Peraturan Menteri (Permen) Ristekdikti atau undang-undang?” lanjutnya.
Menurutnya, kredit pendidikan tersebut masih kontradiktif. Pada dasarnya, hal tersebut ada pada Undang-Undang Dikti Nomor 12 Tahun 2012 dan dijelaskan bahwa kredit diperuntukkan bagi mahasiswa yang kurang mampu dan diberi bunga sebesar nol persen. Tapi di Undang-Undang Perbankan bahwasannya yang namanya kredit harus memiliki bunga. Sampai saat ini dari pemerintah sendiri belum ada kejelasan mengenai regulasi. Baru ada perundingan dengan Menteri Koordinator Perkonomian.
“Mungkin ke depannya bisa diperjelas seperti apa dan lihat juga karakteristik di Indonesia. Potensi gagal bayar di Indonesia juga cukup tinggi. Bahkan di Amerika pun seperti itu. Belum lagi mahasiswa yang lulus student loan ini belum terjamin mendapatkan pekerjaan atau tidak,” ujar Virgy.
Deira Triyanti Putri/Nadhen Ivan
Editor: Nadhen Ivan