Jatinangor – November 2017 lalu, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menggulirkan wacana penggabungan fakultas. Fakultas yang memiliki latar keilmuan serumpun akan digabungkan dengan tujuan efisiensi anggaran kampus dan peningkatan kualitas dosen serta mahasiswa.
Menristekdikti, Mohamad Nasir, mengatakan restrukturisasi perguruan tinggi harus dilakukan. Hal ini mengingat teknologi yang terus berkembang dan adanya kebutuhan tenaga kerja yang sesuai dengan lapangan pekerjaan. Menurutnya, pemerintah akan memberikan dukungan dana dan apresiasi bagi perguruan tinggi yang siap melakukan penggabungan fakultas.
“Saya sudah mengeluarkan surat edaran, kalau fakultas yang ada sekarang terlalu banyak. Bisa nggak nanti fakultas di setiap kampus itu hanya ada lima,” kata Nasir di Kantor Kemenristekdikti, Jakarta, Jumat (3/11/2017) lalu.
Nasir mencontohkan, fakultas di bidang kesehatan dapat membawahi pendidikan dokter, keperawatan, dan psikologi. Fakultas teknik dan MIPA dapat digabungkan menjadi fakultas sains dan teknologi. Sedangkan fakultas di bidang sosial dan humaniora dapat menggabungkan fakultas hukum, fakultas sosial dan ilmu politik, serta fakultas sastra dan budaya.
Menurut pengamat pendidikan, M. Ridwan Sutisna, wacana ini dapat memberikan efektivitas bagi dosen dan mahasiswa. Bagi dosen, semakin ramping fakultas berarti ruang akademik yang semakin luas dan jenjang karir yang semakin sempit. Penyempitan jenjang karir ini merupakan imbas dari berkurangnya jumlah dosen yang akan mengisi jabatan di setiap fakultas. Sedangkan bagi mahasiswa, efektivitas yang didapat adalah peluang dalam hal akademik.
“Karena dosennya banyak tersedia sehingga peluang untuk dosen masuk ke kelas lebih baik,” ujarnya.
Ia juga mengatakan bila kebijakan tersebut diterapkan atas pertimbangan yang urgen, maka wacana ini akan menjadi suatu kemajuan.
“Efektivitas kinerja dosen, efisiensi anggaran, saya pikir ini kemajuan. Hanya catat, dalam pelaksanannya tidak sekedar menghilangkan garis struktural tapi dikembangkan bagaimana pengalaman-pengalaman fakultas yang gemuk mengelola prodi. Pada dasarnya kebijakan ini adalah kebijakan yang progresif dan inovatif,” lanjut Ridwan yang merupakan dosen program studi Teknologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Direktur Pendidikan dan Kemahasiswaan (Dirdikkema) Universitas Padjadjaran, Wawan Hermawan, memberi tanggapan terkait wacana tersebut. Ia mengatakan, sampai saat ini Unpad belum memberikan kebijakan lebih lanjut mengenai wacana penggabungan fakultas.
Berbagai tanggapan dari mahasiswa Unpad pun muncul. Shinta, mahasiswa Fakultas Peternakan (Fapet) Unpad menyatakan ketidaksetujuan.
“Saya tidak setuju dengan wacana tersebut. Nanti kalau mau perizinan apa-apa susah dan jauh,” ujar Shinta.
Novanda Nicky, mahasiswa Jurusan Geofisika, menyambut baik wacana tersebut. Namun, menurutnya ada beberapa fakultas yang tidak bisa digabungkan begitu saja.
“Saya rasa untuk fakultas teknik dan MIPA kalau disatukan menjadi fakultas sains dan teknologi itu ranahnya kurang sesuai. Teknik itu lebih ke pengaplikasian, sedangkan MIPA lebih ke keilmuannya,” tutur Novanda.
Pendapat Novanda selaras dengan pendapat M. Ichsan A, mahasiswa Fakultas Teknik Geologi. Ichsan mengatakan penggabungan fakultas bisa saja dilakukan, namun akan ada pro dan kontra.
“Sekarang aja banyak jurusan yang memisahkan diri jadi fakultas sendiri. Kayak jurusan aku, misalnya. Geologi, dari FMIPA jadi FTG, karena memang nggak cocok kalau di FMIPA,” ujarnya. Menurutnya, kalau pun penggabungan fakultas dilaksanakan, fakultas teknik harus berdiri sendiri, tidak bergabung dengan FMIPA seperti yang dikatakan M. Nasir.
Deira Triyanti Putri
Editor: Ananda Putri