Mengurai Lanjutan Perjanjian Damai Opang dan Ojol di Jatinangor

Suasana Para Pengemudi Menunggu Penumpang di Pangkalan Ojek Ciseke Besar, Jatinangor
Foto oleh: Diaz Zhafran Ligardi

“Ramai sekitar pukul 11 malam, ada ratusan motor. Mobil dan truk tidak bisa lewat karena dibikin macet. Pangkalan ini disikat,” ucap Basri, pengemudi ojek konvensional yang sering mangkal di pangkalan ojek Bunga Mas.

Basri mengingat, larut malam Senin, 27 November 2017 massa yang diduga pengemudi ojek online melakukan sweeping pada sejumlah pangkalan ojek konvensional. Menurut penuturannya, massa meneriakkan kata-kata kasar, membawa balok kayu, lalu menyerbu dan merusak pangkalan ojek yang ditempati Basri. Sejumlah pangkalan ojek konvensional di sekitar Jatinangor pun turut dirusak malam itu.

Basri berkisah, beberapa jam setelah serangan itu, Brimob bersama warga sekitar turun tangan mengamankan keadaan. Oknum-oknum yang diduga membawa senjata tajam ditangkap. Mereka digiring ke Polsek Jatinangor, diikuti puluhan petugas berseragam cokelat yang membawa senjata.

Kepolisian: Kasus Sudah “clear”?

Aen Rumaen, Kepala Seksi Hubungan Masyarakat (Kasi Humas) Polsek Jatinangor, menyatakan permasalahan antara ojek konvensional dan ojek online malam itu sudah selesai dengan adanya kesepakatan damai di antara kedua belah pihak. Proses perdamaian ini dilangsungkan oleh Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Jatinangor. Muspika terdiri dari Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Jatinangor, Camat Jatinangor, serta Komando Rayon Militer (DanRaMil) Jatinangor.

“Kasus dan suasana sekarang sudah aman dan clear, pelanggar hukum sudah kita adili dan sudah masuk ranah pengadilan,” ujar Aen ketika ditemui di Polsek Jatinangor, Senin (19/3) lalu.

Berdasarkan penuturan Aen, berbagai kerugian materiil akibat konflik malam itu sudah diganti. Pihak Polsek Jatinangor juga melakukan hal-hal preventif agar hal ini tidak terulang kembali. Seperti memberikan penyuluhan secara reguler kepada pengemudi ojek konvensional untuk menaati aturan dan hukum yang berlaku serta saling menghormati hak pengguna dan penjual jasa ojek di Jatinangor.

”Saya menghimbau kepada adik adik (mahasiswa) dan masyarakat sekalian agar tetap menjaga ketertiban umum, dan tetap menghormati hak hak orang lain,” tambahnya

Usai Kesepakatan Damai

Konflik pada 27 November 2017 lalu memang telah diselesaikan dengan kesepakatan damai. Tetapi,kenyataan di lapangan menunjukkan pendirian beberapa individu dari kedua belah pihak masih tak sejalan.

Atep, pengemudi ojek konvensional yang mangkal di pangkalan ojek Ciseke 03 mengatakan, sejak ramainya keberadaan ojek online, penghasilan Atep dan pengemudi ojek konvensional lainnya berkurang. Ia juga mengatakan, keberadaan ojek online tidak sah secara hukum (Peraturan Menteri No.108/2017). Karenanya, ia menolak kehadiran ojek online di Jatinangor.

Kehadiran ojek online memang belum memiliki aturan hukum yang jelas. Ada pun aturan mengenai transportasi online yang telah ditetapkan adalah Peraturan Menteri Perhubungan No.108/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang mengatur tentang taksi online. Namun, peraturan yang berlaku per 1 Februari itu tidak dapat sekaligus mengatur ojek online. Sebabnya, dalam undang-undang, kendaraan roda dua seperti sepeda motor dikategorikan sebagai kendaraan perorangan. Sehingga tidak dapat diatur dalam Permenhub mengenai angkutan umum.

Menilik pada peraturan diatas, pernyataan ini pada hakekatnya menjadi pisau bermata dua. Mengingat ojek konvensional, juga menggunakan kendaraan beroda dua dan dikategorikan sebagai kendaraan perorangan, sehingga tidak dapat diatur dalam Permenhub mengenai angkutan umum.

dJATINANGOR pun penasaran dengan perjanjian yang katanya sudah disepakati bersama antara ojek konvensional dan ojek online ini. Kemudian dJATINANGOR mencoba bertanya pada salah seorang pengemudi ojek online yang kerap mengambil penumpang di Jatinangor. Sang pengemudi keberatan untuk dicantumkan namanya dalam pemberitaan ini. IA inisialnya, saat ditanya mengenai kesepakatan damai yang dilangsungkan oleh Muspika, IA mengatakan belum mengetahui adanya kesepakatan tertulis.

“Hitam di atas putih mah teu acan aya, cuman ku ayana serangan eta (27 November 2017), mulai tiap pangkalan (melepas) spanduk-spanduk yang menolak keras ojek online,” tutur IA memaparkannya menggunakan bahasa Sunda, yang di bahasa Indonesiakan menjadi “Hitam di atas putih belum ada, namun setelah serangan waktu itu, mulai tiap pangkalan melepas spanduk-spanduk yang menolak keras ojek online.”

IA menuturkan, ia belum merasa damai dengan seluruh ojek konvensional. Meski ada beberapa pangkalan ojek yang menurutnya aman, ia masih ‘ditegur’ dan ‘ditandai’ oleh beberapa pengemudi ojek konvensional.

Salah satunya ketika IA tengah mengantarkan penumpang melewati daerah Sayang. Ia ditunjuk-tunjuk oleh beberapa ojek konvensional yang sedang menunggu penumpang. Pernah pula ia sampai diikuti. Ia akhirnya harus mencari jalan lain ketika melewati daerah itu.

Zhafran Ligardi/Sandra Haryanto

Editor: Ananda Putri

2 Comments

  1. Yah gimana lagi mereka para opang mau diajak maju mengikuti zaman kok malah gak mau, justru menolak mereka ojol yg sudah modern sistem nya, cuman berharap keajaiban aja sih klo gini, tiba” para opang di nangor hijrah jadi ojol aja entah itu kapan wkwk

  2. cuman berharap keajaiban aja sih klo gini, tiba” para opang di nangor hijrah jadi ojol aja entah itu kapan wkwk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *