
Judul: Cantik Itu Luka
Penulis: Eka Kurniawan
Jumlah Halaman: 479
Terbitan: Gramedia, Agustus 2016 (cetakan kesebelas)
Melihat sampul novel “Cantik Itu Luka”, terbitan Gramedia cetakan Agustus 2016, yang terpikirkan pertama kali mungkin: novel ini begenre horor. Perempuan dalam pakaian kebaya Jawa dengan tatapan misterius, nuansa warna sekelilingnya yang muram, dan dinding latar belakang yang retak. Asumsi itu, belakangan saya ketahui, sedikit banyak ada benarnya.
“Cantik Itu Luka” adalah novel kedua Eka Kurniawan. Dalam novel ini penulis yang dijuluki oleh sebagian orang sebagai penerus Pram ini akan membawa kita ke sebuah kota fiktif, bernama Halimunda, di selatan pantai Jawa. Di Halimunda semua yang magis, absurd, aneh, amoral, dan gila bisa kita temukan. Dan pusat dari seluruh kekacauan itu adalah Dewi Ayu, seorang perempuan keturunan campuran Belanda-Indonesia yang lahir hasil persetubuhan sepasang saudara tiri. Dewi Ayu tidak sendiri dalam novel ini. Ada sekitar belasan tokoh lain yang berbagi porsi narasi bersamanya. Tokoh-tokoh itu antara lain tukang kubur, penarik delman, preman sekaligus pendekar sakti, veteran perang korup, kader partai komunis, anak-beranak keturunan Dewi Ayu, dan seorang gadis bisu. Mereka semua memiliki cerita masing-masing, yang pada saatnya berkelindan satu sama lain menghasilkan sebuah narasi utuh tentang kekacauan-kekacauan di sebuah kota, yang sama kacau dan absurdnya.
Di Halimunda semua tokoh berdiri di garis abu-abu, kecuali seorang kyai figuran. Akan sulit menentukan siapa protagonis dan antagonis dalam novel ini. Selain karena porsi narasi yang dibagi hampir rata, Eka bersikap adil membagi ambivalensi pada para tokohnya. Tokoh-tokoh utamanya sebagian besar adalah orang-orang hina dalam standar moral masyarakat kita. Sebagian lagi adalah orang-orang dengan peran atau pekerjaan tak penting yang jarang kita perhatikan. Di satu waktu Ia menampakkan kebejatan moral atau kegilaan yang absurd dari para tokohnya. Kali lain, Ia membuat kita simpatik dengan kelakuan baik atau justru nasib buruk tokoh yang sama yang berbuat kejam pada halaman-halaman sebelumnya. Sulit untuk benar-benar menyukai atau membenci para tokohnya.
Salah satu contohnya adalah Dewi Ayu. Pelacur ini nampak seperti perwujudan seorang Kartini sekaligus Bonnie (pasangan Clyde). Sejak muda, Ia sudah terlihat memiliki kecerdasan dan kesadaran diri yang tinggi. Di sisi lain, ia mengakui bahwa dirinya sendiri “sedikit gila” dan kerap berperilaku aneh serta tak dapat diduga bisa dilakukan perempuan pada umumnya. Pada satu kesempatan, ia memaksa seorang kakek tua, mantan kekasih neneknya, menikahinya tanpa alasan yang jelas. Kali lain, ia dengan tenang menyerahkan keperawanannya pada seorang tentara Jepang yang menawannya demi menyelamatkan ibu temannya. Di akhir hayatnya, ia memutuskan mati karena sudah lelah memiliki anak dan untuk itu ia mengafani, mengawetkan tubuhnya dengan boraks. Dewi Ayu sering bersikap acuh dan tak jarang berolok-olok pada semua hal. Namun, dengan caranya sendiri, yang kebanyakan aneh dan tak bisa dimengerti, ia melindungi dan membantu teman-temannya juga anak-anaknya.
Eka tak sungkan membagikan label negatif pada para tokohnya, bahkan para figuran. Ia dengan sewenang-wenang mengatai mereka dengan kata-kata macam “sesat”, “gila”, “cengeng”, “idiot”. Ia sering pula memunculkan sisi gelap manusia dengan vulgar pada tokoh-tokohnya dengan cara yang ekstrem. Persetubuhan, pembunuhan, dan berbagai macam tingkah sakit jiwa, amoral, dan absurd adalah santapan rutin dalam tiap halamannya. Andai suatu hari ada seorang sutradara atau produser secara sembrono ingin mengangkat novel ini menjadi film atau sinetron, seluruh kaum moralis pasti akan tumpah ke jalan memprotes keberadaan tayangan itu.
Selain amoralitas dan kegilaan, Ia juga membagikan dengan murah hati humornya yang mengundang tawa berkepanjangan. Bila kita bisa sedikit memaklumi hal-hal buruk di atas, usaha kita akan terbayarkan oleh lelucon-lelucon Eka yang betebaran dimana-mana, dalam dosis tinggi. Mereka mewujud dalam olokan-olokan berbagai bentuk atau tingkah dan perkataan absurd para tokohnya.
“Mama, aku diperkosa anjing di toilet sekolah,” katanya, tenang dan intensional. “Sepertinya aku bakalan hamil.”
Maya Dewi terduduk kembali di kursinya, dengan wajah sepucat mayat empat malam. Ia seorang ibu yang tak pernah marah, tidak kepada suami atau anak gadisnya. Maka ia hanya memandang Si Cantik tak berdaya, dan dengan aneh ia bertanya, “Seperti apa anjing itu?” (halaman 379)
Gaya bahasa Eka dalam novel ini jelas bukan hal yang menonjol. Gaya bahasanya memang cukup enak dibaca, tetapi tidak ada yang benar-benar istimewa di sana, kecuali bahwa ia dengan vulgar memberi kesempatan para tokohnya untuk memaki sekasar-kasarnya. Namun, Eka memberikan hal lain yang unik pada pembacanya: plot yang rumit dan penuh kejutan. Untuk ini, Eka tidak main-main. Ia menampilkan plot cerita bercabang-cabang, yang menguji stamina dan kesabaran pembacanya, dan membuat alur cerita maju-mundur sesuka hatinya. Walau begitu, ia berhasil menjahit plot-plot cerita itu dengan baik, sama baiknya mungkin dengan alur cerita film “Back to the Future”. Bedanya, dibandingkan film itu, “Cantik Itu Luka” memiliki karakter lebih banyak, yang penokohan masing-masing karakternya dikembangkan dengan cukup baik pula.
Untuk kelihaian Eka memainkan plot dan alur ini, para pengulas buku sastra memujinya setinggi langit karena dianggap mendobrak kelaziman bentuk plot dan alur dalam dunia sastra kiwari.
Hal lain yang mengagumkan adalah luasnya pengetahuan Eka mengenai sejarah. Pengetahuannya itu menjadi bekal utama untuk membangun konteks narasi yang kuat bagi kota Halimunda dan para penduduknya. Karena Halimunda adalah sebuah kota fiktif, ia banyak bermain-main dengan fakta sejarah agar sesuai dengan narasi utama novel ini. Dan sulit untuk memahami apa sebenarnya keinginan Eka menggunakan latar sejarah itu dalam novelnya. Entah ia sekedar ingin bersenang-senang dengan mengolok-olok realitas, ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, atau justru keduanya.
“Cantik Itu Luka” tentu memiliki pula kekurangan, di luar perilaku dan kata-kata kasar para tokohnya tentu saja. Halimunda, sebagai sebuah kota, rasanya aneh sekali ditempati oleh para penduduk yang lebih mirip penduduk desa: hubungan antar mereka begitu guyub hingga sebuah rumor bisa begitu cepat menyebar ke seluruh kota dan satu orang bisa begitu dikenal oleh seluruh penduduk. Pada akhirnya, ini bisa dimaklumi mengingat novel ini punya seribu macam keabsurdan lainnya.
Kekurangan lainnya: kalimat-kalimat yang berulang . Narasi dengan plot bercabang dan alur maju mundur memunculkan kalimat narasi yang diulang-ulang. Nampaknya, ini terjadi karena Eka membuat tiap plot cerita secara terpisah, lalu menggabungkannya belakangan. Pengulangan itu awalnya bisa saya maklumi karena Eka terbukti telaten menjahit plot cerita yang rumit itu, sehingga tiap plotnya tidak bertubrukan. Namun, semakin ke sini, kalimat-kalimat yang mengalami pengulangan itu muncul berkali-kali. Ini jelas menganggu pembaca menikmati cerita, terutama bila ia tak sabar menantikan kelanjutan kisahnya.
Akhirnya, novel ini adalah sebuah karya mengagumkan dari seorang penulis brilian. Eka jelas piawai dalam bercerita. Kita akan dibuat asyik membaca hingga halaman terakhir tanpa menyadari bahwa cerita novel ini mirip opera sabun. Bagaimana tidak? Inti novel ini adalah sebuah keluarga besar yang kacau, mirip cerita-cerita opera sabun di televisi. Bedanya, opera sabun di televisi tidak akan segila ini.
Sungguh sebuah praktek penipuan yang cerdik!
(Ahmad Zuhhad A.)
Editor: Gerhan Zinadine Ahmad