Berawal dari Kebetulan, hingga Jadi Pendulang Medali Bagi Indonesia

Dokumentasi sebuah koran, yang memuat prestasi Tjatur Sugiarto (pojok kanan) ketika berada di Podium Pekan Olahraga Nasional (PON) 1985 di Jakarta. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Menjadi atlet nasional merupakan suatu hal yang membanggakan, bukan hanya  membanggakan diri sendiri dan keluarga, tapi juga negaranya. Dulu tidak semua orang ingin menjadi atlet, pertama karena menjadi atlet merupakan hal yang sulit dan kedua karena masa depan atlet masih sering dipertanyakan oleh banyak masyarakat. Begitu Tjatur Sugiarto bercerita kepada dJatinangor saat ditemui di kediamannya, di Bintaro, Jakarta Selatan.

Pria kelahiran Malang, 20 Mei 1964 ini, juga membagikan pengalaman lainnya kepada dJatinangor. Karirnya menjadi atlet berawal dari sebuah organisasi renang di Malang, yang bernama Chatalina. Ia bercerita, bahwa menjadi atlet hanya sebuah kebetulan, dikarenakan ada seorang pelatih yang juga kebetulan melihat potensi Tjatur saat berenang.

Ayahnya merupakan seorang manager kolam renang di Komplek Angkatan Udara di Malang. Karena itu, Tjatur beserta saudaranya pun gemar menghabiskan hari dengan berenang disana, “Kebawa ikut senang berenang dan dilihat oleh seorang pelatih kemudian pertama kali masuk kompetisi langsung”, ujar Tjatur.

Orang tua Tjatur sangat mendukung anaknya untuk berkarier sebagai atlet, “Orang tua saya sangat mendukung sekali, ketika ada pelatih datang ke orang tua saya dan bilang saya mempunyai bakat di bidang renang, orang tua saya sangat mendukung hal itu, “ ujar Tjatur.

Pada 1981, Tjatur dan keluarga pindah dari Malang ke Jakarta,  di Jakarta Tjatur melanjutkan pendidikan di sekolah khusus olahragawan di Ragunan, mulai saat itu karir Tjatur sebagai atlet mulai naik. Di tahun ini juga, ia berhasil  menembus kompetisi bergengsi se Asia Tenggara, SEA Games yang digelar pertama kalinya di Filipina. Ia berhasil mempersembahkan dua medali emas dan dua perak untuk Indonesia

Pada gelaran SEA Games selanjutnya, ia juga berhasil membawa pulang emas, ia juga pernah menjadi juara pada kompetisi Pekan Olahraga Nasional (PON) di tahun 1985. Tidak selamanya Tjatur berhasil, di gelaran kompetisi olahraga bergengsi se Asia, Asian Games, Tjatur gagal mempersembahkan medali untuk Indonesia.

Tahun 1989 karir cemerlang Tjatur mulai redup, ia hanya berhasil membawa pulang 1 perak dan 1 perunggu di ajang SEA Games. Semenjak itu Tjatur pun mengenyam Pendidikan di Cal-State Bakersfield di Amerika Serikat, konsentrasi ilmu Information system. Selama di Amerika, ia pun mengaku tidak bisa lepas dari dunia renang dan tetap aktif menjadi atlet renang di kampusnya.

Tjatur juga membagikan cerita dukanya saat menjadi atlet kepada dJatinangor. Bangun pagi untuk berlatih renang menjadi hal paling berat ia rasakan. “Waktu main saya ketika kecil jadi berkurang”, ia menambahkan.

Namun Tjatur mengatakan lelah bangun pagi dan berlatih tersebut sirna, ketika berhasil naik ke podium dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.  “Disitu rasa dihormati sebagai warga Indonesia langsung muncul dalam hati saya,” ujarnya.

Setelah berhenti menjadi atlet renang, Tjatur mendapatkan beasiswa untuk belajar melatih setelah lulus kuliah. Tjatur kembali terpanggil pada dunia yang sudah membesarkan namanya. Kini ia pun mengajar sebagai guru renang di British International School. Kepada dJatinangor ia mencurahkan nasehatnya untuk para atlet-atlet muda

Menurut Tjatur, atlet pada eranya lebih memiliki jiwa nasionalis berbeda dengan atlet sekarang, “Dulu kami tidak pernah memikirkan bonus yang didapat,” tambahnya. Menurutnya di era sekarang menjadi atlet merupakan suatu hal yang menguntungkan. Kemudahan mendapatkan sponsor menjadi salah satu faktornya. Berbeda dengan era nya yang hampir tidak ada sponsor yang mensponsori para atlet.

Fasilitas di era sekarang juga lebih baik dari sebelumnya, “jaman dulu mana ada,” ujarnya. Ia juga berpesan untuk para atlet, agar tidak mengesampingkan pelajaran formal agar atlet juga punya skill atau pengetahuan untuk bertahan hidup. “Tidak musti berkompetisi untuk kuang. Kita bisa membuktikan dengan kita berpestasi, orang akan menghargai,” tutup Tjatur kepada dJatinangor.

Firdha Ramadhany

Editor: Nadhen Ivan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *